DEFINISI AUTEKOLOGI DAN SINEKOLOGI:
1. Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Contoh autekologi misalnya mempelajari sejarah hidup suatu spesies organisme, perilaku, dan adaptasinya terhadap lingkungan. Jadi, jika kita mempelajari hubungan antara pohon Pinus merkusii dengan lingkungannya, maka itu termasuk autekologi. Contoh lain adalah mempelajari kemampuan adaptasi pohon merbau (Intsia palembanica) di padang alang-alang, dan lain sebagainya.
2. Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu. Misalnya mempelajari struktur dan komposisi spesies tumbuhan di hutan rawa, hutan gambut, atau di hutan payau, mempelajari pola distribusi binatang liar di hutan alam, hutan wisata, suaka margasatwa, atau di taman nasional, dan lain sebagainya.
Contoh Penelitian di bidang Autekologi :
ADAPTASI HUTAN BAKAU TERHADAP LINGKUNGANNYA
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Luas dan Penyebaran
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.
Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.
Lingkungan fisik dan zonasi
Pandangan di atas dan di bawah air, dekat perakaran pohon bakau, Rhizophora sp.
Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:
Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut.
Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang.
Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.
Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.
Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.).
Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).
Bentuk-bentuk adaptasi
Menghadapi lingkungan yang ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis.
Tegakan api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan akar napas yang muncul ke atas lumpur pantai.
Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar lutut (knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel, lubang pori pada pepagan untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya daun.
Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga mengurangi evaporasi dari daun.
Perkembangbiakan
Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.
Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh.
Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang berlumpur.
Suksesi hutan bakau
Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan basah (disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser.
Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang.
Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan hutan bakau, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering.
Uraian di atas adalah penyederhanaan, dari keadaan alam yang sesungguhnya jauh lebih rumit. Karena tidak selalu hutan bakau terus bertambah luas, bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor alam seperti abrasi. Demikian pula munculnya zona-zona tak selalu dapat diperkirakan.
Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas mencapai ketebalan 4 km atau lebih; meskipun pada umumnya kurang dari itu.
Kekayaan flora
Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.
Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999).
Berikut ini adalah daftar suku dan genus mangrove sejati, beserta jumlah jenisnya (dimodifikasi dari Tomlinson, 1986).
Penyusun utama
Suku | Genus, jumlah spesies |
Acanthaceae (syn.: Avicenniaceae atau Verbenaceae) | |
Laguncularia, 11; Lumnitzera (teruntum), 2 | |
Bruguiera (kendeka), 6; Ceriops (tengar), 2; Kandelia (berus-berus), 1; Rhizophora (bakau), 8 | |
Sonneratia (pidada), 5 |
Penyusun minor
Paku laut, Acrostichum aureum.
Suku | Genus, jumlah spesies |
Acanthus (jeruju), 1; Bravaisia, 2 | |
Camptostemon, 2 | |
Fimbristylis (mendong), 1 | |
Excoecaria (kayu buta-buta), 2 | |
Pemphis (cantigi laut), 1 | |
Xylocarpus (nirih), 2 | |
Aegiceras (kaboa), 2 | |
Osbornia, 1 | |
Pelliciera, 1 | |
Aegialitis, 2 | |
Acrostichum (paku laut), 3 | |
Scyphiphora, 1 | |
Heritiera (dungun)2, 3 |
REVIEW:
Hutan bakau suatu ekologi hutan dalam bidang kajian autekologi yang merupakan ekologi yang mempelajari suatu spesies organisme atau organisme secara individu yang berinteraksi dengan lingkungannya. Diantarannya Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Kemampuan adaptasi dalam menghadapi lingkungan yang ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis tegakan api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan akar napas yang muncul ke atas lumpur pantai. Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.
Contoh Penelitian di bidang Sinekologi :
DOMINASI DAN STRUKTUR POHON FLORISTIK HUTAN RAWA GAMBUT PROPINSI RIAU
Oleh Dr. Elfis, M.Si. (elfisuir@ymail.com) Posting 02 Juni 2010
`1. Dominasi dan Struktur Pohon Floristik Hutan Rawa Gambut
Richard (1984) dan Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) memakai istilah dominasi komposisi untuk menyatakan kekayaan floristik suatu tipe hutan. Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan yang klimaks. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian sesar hutan hujan tropika mempunyai komposisi jenis campuran, walaupun tidak selalu demikian dan diduga dalam bentuk asosiasi atau konsosiasi. Soerianegara dan Indrawan (1984) menambahkan bahwa komposisi jenis dibedakan antara populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa jenis).
Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil dan komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada suatu kominitas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebyt dapat menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan. Pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran pohon dan keadaan biologi pohon dibedakan menjadi tiga golongan (Halle et al., 1978), yaitu :
(1) Pohon masa datang (tree of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai kemampuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan pada masa mendatang akanmenggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan.
Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil dan komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada suatu kominitas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebyt dapat menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan. Pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran pohon dan keadaan biologi pohon dibedakan menjadi tiga golongan (Halle et al., 1978), yaitu :
(1) Pohon masa datang (tree of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai kemampuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan pada masa mendatang akanmenggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan.
(2) Pohon masa kini (tree of the present), yaitu pohon-pohon yang sedang berkembang penuh dan merupakan pohon yang dominan (menentukan) dalam stratifikasi saat ini.
(3) Pohon masa lampau (tree of the past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dn mulai mengalami kerusakan yang selanjutnya akan mati.
Menurut Sugden (1983), untuk mengetahui komposisi jenis disuatu daerah, maka perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk reproduksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi jenis komunitas hutan sangat beragam tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang hampir sama.
Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan. Samingan (1996) menjelaskan dalam kerangka pemanfaatan hutan perlu mengetahui komposisi jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Selain itu Soerianegara dan Indrawan (1984) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi. Dikatakan komposisi; hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Struktur vegetasi adalah menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunaan dalam menentukan stratifikasi (vertikal dan horizontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan, kodominan dan tertekan (Richards, 1984).
Interaksi dalam suatu komunitas tercermin dari struktur dan komposisi vegetasi. Stratifikasi yang terjadi pada suatu komunitas tumbuhan di hutan terjadi karena adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis vegetasi lain, pohon-pohon tinggi dari lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang ada dibawahnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984).
Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan hutan. Samingan (1996) menjelaskan dalam kerangka pemanfaatan hutan perlu mengetahui komposisi jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Selain itu Soerianegara dan Indrawan (1984) mengemukakan pentingnya mengetahui komposisi. Dikatakan komposisi; hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Struktur vegetasi adalah menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunaan dalam menentukan stratifikasi (vertikal dan horizontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan, kodominan dan tertekan (Richards, 1984).
Interaksi dalam suatu komunitas tercermin dari struktur dan komposisi vegetasi. Stratifikasi yang terjadi pada suatu komunitas tumbuhan di hutan terjadi karena adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis vegetasi lain, pohon-pohon tinggi dari lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang ada dibawahnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984).
Dominasi suatu jenis ditentukan oleh indeks nilai pentingnya. Jenis vegetasi yang dominan adalah yang paling tinggi indeks nilai pentingnya. Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), indeks nilai penting adalah jumlah dari frekuensi relatif, dominasi relatif dan kerapatan relatif. Kegunaan mengetahui struktur baik vertikal maupun horizontal oleh para ahli dilihat dari berbagai aspek. Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), struktur tegakan secara horizontal berguna sebagai dasar (a) penaksiran volume kayu per satuan luas, (b) penentuan jarak tanam, dan (c) penilaian biaya pemungutan hasil hutan. Soerianegara dan Indrawan (1984) menambahkan, struktur vegetasi hutan merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Sedangkan struktur vertikal sangat berguna berkaitan dengan kebutuhan cahaya, yaitu toleransi suatu jenis terhadap cahaya matahari (Smith, 1980).
Soerianegara dan Indrawan (1984) membagi stratifikasi tajuk dalam hutan hujan tropikake dalam lima lapisan sebagai berikut :
Soerianegara dan Indrawan (1984) membagi stratifikasi tajuk dalam hutan hujan tropikake dalam lima lapisan sebagai berikut :
(1) Lapisan A, lapisan teratas, ditandai oleh tajuk yang terputus, biasanya tinggi pohon 30 meter ke atas.
(2) Lapisan B, secara umum tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 20 meter sampai 30 meter.
(3) Lapisan C, tajuk tidak terputus, tinggi pohon antara 4 meter sampai 20 meter.
(4) Lapisan D, lapisan perdu dan semak, tinggi antara 1 meter sampai 4 meter.
(5)Lapisan E, lapisan tumbuhan penutup tanah, tinggi kurang 1 meter.
Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), diagram profil hutan adalah salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horizontal, tetapi diagram profil hanya bersifat kuantitatif dan sulit menentukan lokasi yang mewakili komunitas hutan.
Dalam pembuatan diagram profil, perubah yang diukur adalah tinggi pohon total, tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk (Tarquebiau, 1982). Ditambahkan oleh Oldeman (1983) untuk mempelajari arsitektur pohon dengan cara pembuatan diagram profil diperlukan data sebagai berikut (a) unit regenarasi (eco-unit), (b) perkembangan mosaik (a chrana-unit), dan (c) mosaik suksesi (a silvatic-unit).
Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), diagram profil hutan adalah salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horizontal, tetapi diagram profil hanya bersifat kuantitatif dan sulit menentukan lokasi yang mewakili komunitas hutan.
Dalam pembuatan diagram profil, perubah yang diukur adalah tinggi pohon total, tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk (Tarquebiau, 1982). Ditambahkan oleh Oldeman (1983) untuk mempelajari arsitektur pohon dengan cara pembuatan diagram profil diperlukan data sebagai berikut (a) unit regenarasi (eco-unit), (b) perkembangan mosaik (a chrana-unit), dan (c) mosaik suksesi (a silvatic-unit).
2. Pola Sebaran Spasial Floristik Hutan Rawa Gambut
Pola sebaran spasial vegetasi merupakan karakter penting dalam komunitas ekologi hutan rawa gambut. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan hal yang sangat mendasar dari kehidupan suatu organisme (Ludwig & Reynold, 1988). Pola sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970).
Menurut Ludwig & Reynold (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial adalah :
(1) Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan (misalnya angin, intensitas cahaya, dan air).
(2) Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi
(3) Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya kompetisi).
(4) Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa faktor di atas.Terdapat tiga pola dasar sebaran spasial, yaitu (a) acak atau random, (b) mengelompok atau clump, (c) seragam atau uniform (Odum, 1986; Ludwig & Reynold, 1988; McNaughton&Wolf, 1990). Pola acak terbentuk sebagai akibat dari lingkungan yang homogen (Odum, 1986; Ludwig & Reynold, 1988) atau perilaku yang non selektif (Ludwig & Reynold, 1988; McNaughton&Wolf, 1990). Pola sebaran non acak (mengelompok atau seragam) menunjukan bahwa terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold, 1988). Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang lain di dekatnya. Sedangkan pola sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok.
Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi organisme yang mempunyai kisaran kemampuan adaptasi yang sempit (Krebs, 1978). Selanjutnya Krebs (1978) menyatakan bahwa tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain iklim, faktor edafis dan interaksi dengan tumbuhan lain.
Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropika merupakan kunci penting untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama, et.al., 1999). Manokaran (1992) mengungkapkanberdasarkan penelitian mengenai pola spasial di Hutan Cadangan Pasoh Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies tergantung pada topografi, kelembaban tanah posisi pohon induk, dan celah kanopi.
3. Celah Kanopi/ Rumpang Floristik Hutan Rawa Gambut
Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku bagi organisme yang mempunyai kisaran kemampuan adaptasi yang sempit (Krebs, 1978). Selanjutnya Krebs (1978) menyatakan bahwa tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain iklim, faktor edafis dan interaksi dengan tumbuhan lain.
Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropika merupakan kunci penting untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama, et.al., 1999). Manokaran (1992) mengungkapkanberdasarkan penelitian mengenai pola spasial di Hutan Cadangan Pasoh Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies tergantung pada topografi, kelembaban tanah posisi pohon induk, dan celah kanopi.
3. Celah Kanopi/ Rumpang Floristik Hutan Rawa Gambut
Celah kanopi (rumpang atau gap atau chablis) merupakan kejadian alam yang umum dijumpai di hutan tropika. Celah terjadi akibat pohon yang mati/patah/ rebah batang atau dahan pohon oleh berbagai faktor seperti mati karena usia, angin, tanah longsor, penebangan pohon dan sebagainya (Hartshorn, 1986). Selanjutnya Whitmore (1986) mengungkapkan bahwa selain terbentuknya celah rebahnya pohon-pohon besar akan menghasilkan gundukan atau lubang pada tanah akibat terbongkarnya tanah oleh akar-akar pohon yang rebah. Terbentuknya celah merupakan titik kritis bagi permudaan dan perkembangan dari banyak jenis pohon penyusun tajuk hutan di hutan rawa gambut.
Celah di hutan oleh Halle (1976) dibagi menjadi tiga bagian: (a) the crown gap (celah yang disebabkan tajuk pohon), (b) the epicenter (daerah yang menerima tumbukan batang pohon dan dahan-dahan besar), dan (c) the periphery around the epicenter (daerah tumbukan ranting-ranting kecil dan daun). Pada daerah crown gap, cahaya matahari akan langsung mengenai vegetasi yang ada dan pembentukan hutan akan cepat tanpa melalui tahap pionir. Pada daerah epicenter, tanah akan langsung mendapat cahaya matahari, bahkan pohon-pohon muda banyak yang rusak, karena daerah ini merupakan bagian yang kuat mendapat tumbukan tajuk. Pada daerah epicenter, silvigenesis dimulai dari tumbuhan herba pada waktu selama dua tahun. Batang pohon akan hilang pada waktu sepuluh tahun, tumbuhan herba akan hilang dan digantikan oleh komunitas pionir sampai umur 25 tahun komunitas dominan. Di bawah tegakan pionir mulai tumbuh jenis nomads, setelah berumur 30 tahun komunitas pionir akan lenyap pada waktu bersamaan, setelah 40-50 tahun komunitas nomads akan berkuasa. Tidak seperti pionir, komunitas nomads tidak mati pada waktu yang bersamaan, oleh karena itu flora akan kaya oleh komunitas nomads. Komunitas nomads dapat 100±hidup tahun. Selanjutnya komunitas nomads akan mati dan digantikan oleh pohon-pohon jenis klimaks dan flora yang kaya akan jenis. Komunitas 200 tahun.±chablis akan sama dengan komunitas sekitarnya celah mengakibatkan pengurangn kompeteisi akar dan perubahan iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan temperatur dan menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1986). Celah juga dapat meningkatkan kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang mati, mengurangi kompetisi akar, serta merubah relief mikro dan profil tanah (Whitmore, 1986). Hal lain yang penting adalah dengan terbentuknya celah berarti berkurang atau hilangnya pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pon yang ada dibawahnya. Keberadaan dan pertumbuhan dari berbagai spesies pon sangat berkaitan erat dengan ukuran celah dan posisi spesies dalam celah, terutama pada tingkat semai. Ketahanan dan keberadaan pon pada tingla semai adalah lebih besar pada celah dibabdingkan kanopi tertutup (Gray&Spies, 1996).
Permudaan dalam celah adalah statu mekanisme penting dalam memelihara populasi dan comunitas dalam hutan rawa gambut. Karakteristik celah berupa ukuran dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan permudaan (Yamamoto, 1995). Usuran celah juga dapat mempengaruhi jenis mana yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn, 1986). Keadaan menyangkut celah kanopi seperti dijelaskan di atas berperan menciptakan suatu mekanisme suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada komposisi dab struktur comunitas tegakan (Hartshorn, 1986).
Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai usuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu hal penting yang berpengaruh terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat yang mendukung penyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan pengaruh terhadap pola sebaran spasial jenis pon dikemukakan oleh Armesto et.al. (1986) dalam Yamamoto (1995) yang mengemukakan bahwa kerusakan dalam skala besar (seperti gempa, badai) meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang diakibatkan pohon tumbang (seperti penebangan dan penyaradan) meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar secara mengelompok.
Celah di hutan oleh Halle (1976) dibagi menjadi tiga bagian: (a) the crown gap (celah yang disebabkan tajuk pohon), (b) the epicenter (daerah yang menerima tumbukan batang pohon dan dahan-dahan besar), dan (c) the periphery around the epicenter (daerah tumbukan ranting-ranting kecil dan daun). Pada daerah crown gap, cahaya matahari akan langsung mengenai vegetasi yang ada dan pembentukan hutan akan cepat tanpa melalui tahap pionir. Pada daerah epicenter, tanah akan langsung mendapat cahaya matahari, bahkan pohon-pohon muda banyak yang rusak, karena daerah ini merupakan bagian yang kuat mendapat tumbukan tajuk. Pada daerah epicenter, silvigenesis dimulai dari tumbuhan herba pada waktu selama dua tahun. Batang pohon akan hilang pada waktu sepuluh tahun, tumbuhan herba akan hilang dan digantikan oleh komunitas pionir sampai umur 25 tahun komunitas dominan. Di bawah tegakan pionir mulai tumbuh jenis nomads, setelah berumur 30 tahun komunitas pionir akan lenyap pada waktu bersamaan, setelah 40-50 tahun komunitas nomads akan berkuasa. Tidak seperti pionir, komunitas nomads tidak mati pada waktu yang bersamaan, oleh karena itu flora akan kaya oleh komunitas nomads. Komunitas nomads dapat 100±hidup tahun. Selanjutnya komunitas nomads akan mati dan digantikan oleh pohon-pohon jenis klimaks dan flora yang kaya akan jenis. Komunitas 200 tahun.±chablis akan sama dengan komunitas sekitarnya celah mengakibatkan pengurangn kompeteisi akar dan perubahan iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan temperatur dan menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1986). Celah juga dapat meningkatkan kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang mati, mengurangi kompetisi akar, serta merubah relief mikro dan profil tanah (Whitmore, 1986). Hal lain yang penting adalah dengan terbentuknya celah berarti berkurang atau hilangnya pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pon yang ada dibawahnya. Keberadaan dan pertumbuhan dari berbagai spesies pon sangat berkaitan erat dengan ukuran celah dan posisi spesies dalam celah, terutama pada tingkat semai. Ketahanan dan keberadaan pon pada tingla semai adalah lebih besar pada celah dibabdingkan kanopi tertutup (Gray&Spies, 1996).
Permudaan dalam celah adalah statu mekanisme penting dalam memelihara populasi dan comunitas dalam hutan rawa gambut. Karakteristik celah berupa ukuran dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan permudaan (Yamamoto, 1995). Usuran celah juga dapat mempengaruhi jenis mana yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn, 1986). Keadaan menyangkut celah kanopi seperti dijelaskan di atas berperan menciptakan suatu mekanisme suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada komposisi dab struktur comunitas tegakan (Hartshorn, 1986).
Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai usuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu hal penting yang berpengaruh terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat yang mendukung penyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan pengaruh terhadap pola sebaran spasial jenis pon dikemukakan oleh Armesto et.al. (1986) dalam Yamamoto (1995) yang mengemukakan bahwa kerusakan dalam skala besar (seperti gempa, badai) meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang diakibatkan pohon tumbang (seperti penebangan dan penyaradan) meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar secara mengelompok.
http://elfisuir.blogspot.com/2010/06/dominasi-dan-struktur-pohon-floristik.html
REVIEW:
Dominasi dan struktur pohon floristic hutan rawa gambut merupahan kajian dalam bidang sinekologi karena mempelajari kelompok organisme yang tergabung dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu. Diantarannya Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu tegakan yang klimaks. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian besar hutan hujan tropika mempunyai komposisi jenis campuran, walaupun tidak selalu demikian dan diduga dalam bentuk asosiasi atau konsosiasi. Soerianegara dan Indrawan (1984) menambahkan bahwa komposisi jenis dibedakan antara populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa jenis).
Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil dan komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada suatu kominitas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebut dapat menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan.
Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil dan komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada suatu kominitas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebut dapat menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan.
bener tuch
BalasHapusstuju banget .....